DISSENTING OPINION ATAU 'DI-SETTING' OPINION?
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Sidang putusan Mahkamah Konstitusi atau MK mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Hal itu dinyatakan oleh tiga hakim MK, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
ketiganya menilai seharusnya MK menolak permohonan pemohon. Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa putusan perkara itu sebagai peristiwa aneh yang luar biasa. Arief Hidayat merasakan ada keganjilan dalam proses pengambilan keputusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur soal batas usia capres-cawapres. Begitu juga Wahidudin Adam.
Tapi dalam perspektif lain, publik menduga bahwa ketiganya tidak sedang mengajukan disenting opinion. Melainkan sedang melakukan peran 'di-setting opinion'.
Dissenting opinion adalah perbedaan pendapat atau opini yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.
Sementara, di-setting opinion adalah upaya untuk membentuk opini publik melalui perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil, dengan tujuan untuk melegitimasi putusan, seolah-olah putusan adalah hasil dialektika dan perdebatan yang keras, sehingga akhirnya diputus dengan suara terbanyak, padahal putusan itu sendiri sejatinya telah disiapkan dan dirancang jauh hari sebelum amar putusan dibacakan.
MK menyadari, putusan ngaco ini akan membuat rakyat marah. Karena itu, kemarahan itu harus diindiividualisasi kepada hakim tertentu, dalam kasus ini misalnya kepada Anwar Usman, Pamannya Gibran.
Untuk meminimalisir dampak kemarahan rakyat kepada MK, agar yang disalahkan hanya Anwar Usman, bukan MK secara kelembagaan, maka dibutuhkan pembagian peran hakim MK antara yang setuju dan yang punya pendapat berbeda. Disinilah, fungsi dari dissenting opinion untuk menjalankan strategi di-setting opinion, untuk mengkanalisasi kemarahan rakyat kepada Oknum hakim MK, bukan kepada MK secara kelembagaan.
Para hakim MK yang melakukan dissenting opinion, bisa jadi mereka menyadari dan ada dalam strategi di-setting opinion itu sendiri, atau sengaja dibiarkan liar memiliki pendapat berbeda, untuk melegitimasi rencana di-senting opinion yang telah dibuat.
Kalau semua hakim MK setuju kan ga asyik. Keliatan betul perkara sudah dipesan. Keliatan betul, MK itu antek eksekutif. Maka dibuatlah strategi di-setting opinion dengan mengadopsi taktik disenting opinion.
Sebenarnya, rakyat sudah tahu strategi di-setting opinion ini dan marah. Hanya memang, kemarahan itu sedang diakumulasi dan menuggu momentum.
Sejumlah parpol dan elit yang terdampak dan dirugikan kepentingannya oleh keputusan MK ini juga marah. Namun, semua juga menunggu kemarahan rakyat.
Sayangnya, anda yang membaca tulisan ini juga cuma bisa marah dalam hati dan latah ikut-ikutan menunggu. Padahal, anda bisa menciptakan momentum kemarahan rakyat untuk segera mengakhiri semua keculasan dan pengkhianatan ini. [].
Komentar
Posting Komentar